Zahrana (23 th) akhir-akhir ini sering resah sendiri, apa yang dilakukannya sering menjadi serba salah, bahkan untuk hal-hal yang rutin dikerjakannya pun tak luput dari kesalahan. Hani juga jadi lebih sensitif, ada hal kecil saja yang tak berkenan di hatinya sudah dapat membuat ia sedih dan menangis. Tentu saja keadaan ini tidak membuat ia merasa nyaman terhadap dirinya sendiri. Usut punya usut, ternyata Hani sebentar lagi akan menikah, tepatnya sepekan lagi.
Zahrana akan memasuki dunia baru, ia akan mengarungi bahtera rumah tangga. Persiapan sudah dilakukan, tempat sudah di booking jauh-jauh hari, undangan telah disebar, segala sesuatu yang berkaitan dengan teknis pernikahan sudah disiapkan dengan matang. Pendeknya, segala sesuatunya sudah beres, sisanya tinggal persiapan diri yang bersangkutan saja untuk menghadapi pernikahannya.
Sebetulnya Zahrana merasa telah mempersiapkan dirinya menghadapi pernikahan ini, tapi tak urung ia masih juga khawatir, apakah ia siap berbagi hidup bersama orang yang baru dikenalnya? Apakah ia sanggup menjalankan amanah sebagai seorang istri lalu menjadi seorang ibu?
Sebetulnya Zahrana merasa telah mempersiapkan dirinya menghadapi pernikahan ini, tapi tak urung ia masih juga khawatir, apakah ia siap berbagi hidup bersama orang yang baru dikenalnya? Apakah ia sanggup menjalankan amanah sebagai seorang istri lalu menjadi seorang ibu?
Zahrana teringat bahwa suatu hari ia pernah membaca sebuah buku yang di dalamnya diceritakan kisah tentang seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah SAW :
“Ya Rasulullah SAW, aku adalah seorang gadis yang ingin menikah, maka beritahukanlah kepadaku, apakah hak-hak suami terhadap istrinya agar aku dapat melaksanakannya? InsyaAllah”.
Rasulullah SAW yang mulia menjawab : “Diantara hak suami atas istrinya adalah : Jika saja kaki suamimu terluka kemudian luka itu bernanah dan mengeluarkan bau busuk, kemudian engkau membasuhnya dengan wajahmu, maka engkau belum dianggap memenuhi semua hak suamimu. Dan kalau saja Allah membolehkanku untuk memerintahkan manusia sujud kepada manusia lain, sungguh aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya”.
Zahrana ingat, ketika itu ia sampai bergidik membacanya.
Ia juga teringat akan pembahasan tentang istri sholihah dalam kajian yang sering diikutinya, sehingga membuatnya terus menerus berfikir, apakah ia mampu menjadi istri sholihah? Hani memang punya tekad kuat untuk menjadi istri sholihat. Ia ingin pernikahannya menjadi ladang amal sholih baginya, dan untuk itu ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Sebenarnya Zahrana tak perlu sampai khawatir begitu, sebab rasanya kita semua, baik yang belum menikah atau bahkan yang sudah menikah bertahun-tahun masih harus terus belajar dan berproses menjadi istri yang sholihah, dan proses itu tidak akan pernah berhenti selama kita masih menjadi seorang istri. Memang sangat jauh lebih baik proses untuk menjadi istri yang sholeha dimulai jauh-jauh hari sebelum Allah SWT memberikan jodoh kepada kita.
Lalu ketika hari pernikahan sudah diambang pintu, apa yang seharusnya dilakukan?
Pertama
Lebih intensif mendekatkan diri kepada Allah SWT, dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Lebih intensif mendekatkan diri kepada Allah SWT, dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Menikah adalah keputusan penting dalam kehidupan manusia. Siapapun tentunya tidak ingin salah dalam mengambil keputusan, apalagi keputusan itu menyangkut hal penting dalam hidupnya yaitu: “Pernikahan”. Nah detik-detik menjelang “hari H” itu intensiflah bermunajat kepada Allah SWT, memohon kepada-Nya agar keputusan yang telah kita ambil itu benar-benar mendapat taufiq (persetujuan) serta ridho-Nya dan pernikahan ini menjadi keputusan terbaik dalam hidup kita. Juga memohon bimbingan kekuatan, kemudahan dalam menjalani hidup berumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah hingga akhir zaman.
Kedua
Berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjaga keikhlasan dalam kondisi apapun.
Berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjaga keikhlasan dalam kondisi apapun.
Ikhlas dalam konteks akan membangun rumah tangga adalah berusaha ikhlas menerima calon pasangan kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ingat, kita akan menikahi manusia, bukan malaikat. Betapapun tinggi tingkat ketaatan seseorang dalam beragama, bukan berarti dapat mengubahnya menjadi malaikat yang tak pernah berbuat salah. Siap menikah berarti siap untuk terus menjaga keikhlasan dalam menjalani semua kewajiban, konsekwensi, dinamika dan gelombang dalam berumah tangga. Sehingga dalam menghadapi kondisi seberat apapun nantinya, sikap kita adalah melakukan perenungan kembali tentang niat awal kita menikah. Apa sih niat saya menikahi dia? Kenapa sih saya mau menikahi dia? Dengan demikian kita senantiasa diingatkan bahwa ada yang harus selalu dijaga dalam pernikahan ini. Ia adalah keikhlasan itu sendiri. Dalam kerangka ini, insyaAllah pernikahan akan menjadi ibadah di sisi-Nya.
Ketiga
Menjaga kebersihan hati dan menghiasinya dengan adab-adab syar’i.
Menjaga kebersihan hati dan menghiasinya dengan adab-adab syar’i.
Ingat, sebelum prosesi aqad nikah dilangsungkan, status kita terhadap calon pasangan adalah non-mahram, yang berarti adab berinteraksi dengan calon pasangan adalah sebagai mana adab berinteraksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Hal itu sangat penting disadari untuk menjaga kebersihan hati agar tidak tergoda untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh syar’i. Berkomunikasi dan berinteraksi tentu saja boleh, tidak mungkin orang yang akan menikah tidak berkomunikasi dan berinteraksi dengan calon pasangannya. Tapi berusahalah sedapat mungkin berkomunikasi dan berinteraksi sesuai dengan adab yang diperbolehkan syariat. Misalnya, musyawarah tentang persiapan menikah dilakukan di rumah, bersama oang tua kita, atau dapat dilakukan di rumah orang yang kita percaya, tentu saja dengan didampingi oleh tuan rumahnya.
Hindari berkhalwat berdua dengan calon pasangan, ingat “tidaklah seorang laki-laki dan perempuan berkhalwat melainkan ketiganya adalah syaitan”. (Al-Hadits). Hindari juga sms, telephon, email mesra dan lain-lain yang sejenis, yang kesemuanya dapat membuat hati kita menjadi kotor, berangan-angan dan jatuh dalam dosa.
Jika kita menginginkan pernikahan yang akan kita jalani mendapatkan taufiq, inayah, berkah dan ridho Allah SWT, kita harus mengusahakan agar segala persiapan sedapat mungkin “bersih” sejak awal prosesnya.
Mudah-mudahan tiga hal ini dapat membantu kita lebih pandai menata dan menjaga hati, sehingga detik-detik menjelang pernikahan tidak perlu lagi menjadi detik-detik yang membuat resah dan gelisah, tetapi sebaliknya menjadi detik-detik yang penuh keindahan dan kemanisan munajat kepada Allah SWT, yang membuka dan menjadikan semua jalan menjadi mudah dan terang. Amin.
Kemudian dapatlah setelah itu kita dengan keyakinan kepada Allah SWT, berkata kepada calon suami kita : “wahai calon suamiku, marilah kita naiki bahtera ini, mari kita kembangkan layarnya bersama-sama, kita hadapi gelombangnya tanpa rasa gentar. Semoga Allah SWT bersama kita.